Hargailah Fotografer

15.27

TARIF FOTO Rp500,- KOK DIBILANG
MAHAL ?
Seorang tukang foto curhat begini :
Kemajuan teknologi kamera telah
membuat makin banyak orang punya
kamera dan hampir setiap orang "bisa
memotret".
Itu kalau "memotret" hanya diartikan
sebagai kegiatan memencet tombol
shutter untuk menghasilkan gambar.
Di jaman sekarang ini mestinya profesi
tukang foto bukan lagi diukur dari
"kepemilikan kamera" dan "tenaga
jeprat-jepret"nya, melainkan diukur dari
kreatifitas IDEnya.
Menggunakan kamera foto untuk
meliput acara (pengantin, ulang tahun,
tontonan, reuni, dsb.) sesungguhnya
bagi seorang tukang foto jaman
sekarang adalah soal kreatifitas IDE,
dan IDE itu mestinya dihargai
"mahal" (ingat kisah "Telur
Columbus" ?).
Soal "teknik menjepret" adalah soal di
masa silam, karena di masa kini anak-
kecil pun bisa disuruh kalau hanya
untuk "menjepret" saja. Tinggal setel
kamera pada mode "Auto", jepret,
jadilah gambarnya.
Kemajuan teknologi kamera dan
perkembangan paradigma fotografi
sayang sekali belum berbanding lurus
dengan peningkatan apresiasi
masyarakat (Indonesia non kota besar)
terhadap profesi tukang foto.
Masih banyak penyelenggara acara
yang minta liputan foto "asal ada
gambarnya", soal IDE dan kualitas foto
"tidak penting".
Pada banyak hajatan pengantin, tidak
jarang pihak keluarga "melecehkan"
profesi tukang foto hanya sebagai
"tukang pencet tombol shutter".
Ketika tawar-menawar harga paket
liputan, tidak jarang pihak keluarga
bilang "Sebenarnya adik kami,
keponakan kami, om kami semua
punya kamera dan juga pinter kalau
cuma motret, tapi kan mereka harus
ikut upacara adat, pakai pakaian
tradisional, tidak bisa gesit kalau
meliput acara, maka kami panggil
tukang foto." ...
Ilustrasi tersebut menempatkan tukang
foto hanya sebagai "pengganti kaki dan
jari tangan pemencet tombol shutter
dari si adik, si keponakan, si om".
Seolah-olah tukang foto hanya dipinjam
kakinya dan jari tangannya, alias
dianggap sekedar tubuh tanpa kepala,
tanpa otak, tanpa IDE yang harus
dihargai ("ditarifi") lebih tinggi daripada
harga/tarif keringat yang mengucur di
kakinya dan di jari tangannya.
Peran sebagai sekedar pengganti "si
adik, si keponakan, si om" yang
KATANYA "juga pinter kalau cuma
motret" seringkali membuat tukang foto
tidak berdaya untuk mempertahankan
harga-diri dan IDEALISMEnya.
Curhat tukang foto itu berlanjut "lebih
pribadi", begini :
Saya sedih kalau paket motret plus
cetak 40 lembar 4R Rp250ribu saja
dibilang mahal ...
Hitunglah, 250ribu bagi 40 = Rp6250 ...
ongkos cetak 4R Rp1300 ... 6250 -
1300 = Rp4950 ...
Berangkat-pulang motret butuh
bensin ...
Pasang kabel + lampu-lampu +
background butuh tenaga (ada
harganya kan ?),
Setting kabel harus rapi dan aman
maka butuh lakban dan isolasi (harus
beli kan ?) ...
Mondar-mandir jungkir-balik
berkeringat motret sepanjang acara
(ada harga "tenaga fisik"nya kan ?) ...
Tidak jarang harus bawa kru/asisten
(harus diberi honorarium kan ?) ...
Menghitung penyusutan harga kamera
& alat-alat plus antisipasi ongkos
servis jika alat rusak (rasional kan ?) ...
Editing foto butuh ditemani rokok dan
camilan (beli juga kan ?) ...
Klien masih diberi bonus beberapa
lembar 10R+an (harga cetaknya harus
dibayar juga kan ?) ...
DVD file foto dikemas cantik (ada
ongkos produksinya kan ?) ...
Listrik harus dibayar (jelas kan ?) ...
Back up simpanan data harus dibikin
(DVD lain, flashdisk, hardisk eksternal,
ada harganya kan ?) ...
Anak sekolah dan aneka keperluan
rumah-tangga harus dibiayai (tukang
foto itu hidup dari memotret kan ?) ...
Nah, kalau semua itu anggap saja total
jendralnya Rp4450, lantas IDEku (MIKIR
bagaimana caranya supaya potretnya
bagus-bagus) cuma kuhargai Rp500
(lima ratus rupiah) saja kok masih
dibilang mahal, itu keterlaluan
nggak ? ...
Curhat si tukang foto ditutup begini :
Pada akhirnya semua itu kembali pada
pribadi masing-masing tukang foto ...
Mau ikut berjuang di barisan yang
menjunjung tinggi IDEALISME dan
KEHORMATAN PROFESI ataukah ikut
arus salah-kaprah yang masih berlaku
di masyarakat ? ...
Mau ikut melakukan "pendidikan
apresiasi fotografi kepada masyarakat"
ataukah merelakan-diri terus-menerus
menjadi korban ketidakfahaman
masyarakat ? ...
Mau ikut membuktikan bahwa tukang
foto itu manusia-utuh yang punya
kepala berisi otak dan IDE kreatif
ataukah rela terus-menerus dianggap
sekedar sebagai "tukang pencet tombol
shutter" ? ...
Mau ikut memperjuangkan "harga IDE"
ataukah tetap tidur pulas menikmati
sekedar "harga keringat fisik" ? ...
Tahun 2014 masih pasang tarif
Rp125ribu per "rol" (40 gambar) 4R ?
Itu tarif sepuluh tahun silam
Broooooo ... ayo bangun, banguuun,
banguuuuuunnn ...
###############
#########################
Diolah dari curhatan seorang tukang
foto
(yang tidak bersedia disebut namanya)
oleh : mBilung Sarawita,
11 Februari 2014, 04:00 WIB
###############
#########################

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar